Selasa, 27 September 2011

Nikmatnya Kejujuran

"Kejujuran ibarat orang minum jamu; pahit dan getirnya hanya sebatas kerongkongan. Setelah itu, yang terasa adalah semangat hidup akan menyala-nyala. Sebaliknya, kebohongan ibarat orang minum sirup; manis dan nikmatnya hanya sebatas bibir dan kerongkongan. Setelahnya, yang terasa hanyalah panas sariawan saja...." 
 (Arif Budiman, S.S.; February 02, 2011)


Kejujuran dan kebohongan; dua kata yang saling bertolak belakang. Satu putih, satu hitam. Satu dipuja, satu dicerca. Satu yang langka, satu yang 'biasa'. Begitulah elegi dua kata ini bercerita.

Kedua kata membumbui historia manusia, sepanjang masa. Dari keduanya, cerita berakhir dengan suka dan derita; konflik dan intrik. Damai dan perang bermula dari kedua kata; maknanya sering terdistorsi oleh kepentingan semu semata. Dengan dasar dan dalih menjaga wibawa sebatas syak wasangka, makna kedua kata diputarbalik dengan sengaja. Ujung-ujungnya bisa menghilangkan nyawa tak berdosa dan papa.

****************

Gambaran di atas mungkin sedikit berlebihan. Fakta yang berbicara justru mengindikasikan yang demikian. Kejujuran dan kebohongan sudah dibolak-balik dan diobrak-abrik maknanya; yang tertinggal sekarang hanyalah sepah-sepah tak berguna pengoyak rasa.

Kejujuran sekarang ibarat "barang langka"; orang yang masih setia dan teguh kepadanya pun masuk kategori "manusia purba dan langka". Sebaliknya, kebohongan sudah dianggap "biasa" - seperti kebutuhan ekstra. Aneh rasanya bila masih ada manusia di zaman ini yang polos, lugu, jujur dan "apa adanya". Justru manusia pembohong dianggap "raja" melebihi segalanya.

Orang jujur, seringkali dijadikan "objek"; bukan "subjek". Orang jujur seringkali dijadikan "budak" - setidaknya kelinci-kelinci percobaan dalam percaturan kehidupan zaman untuk kemudian menjadi kambing hitam dalam menutupi sebuah kebohongan. Orang jujur juga seringkali dianggap "benalu" sehingga perlu "disingkirkan secara sistematis, metodis dan terpadu". Pun orang jujur seringkali tak dianggap "ada" walaupun mereka ada; tak "digubris" walaupun mereka "kritis". Atau setidaknya, orang jujur dihambat untuk melakukan sesuatu - yang baru dan bermanfaat - meski mereka tidak pernah menghambat.

Lain halnya dengan orang yang tidak jujur alias pendusta lagi pembohong - setidaknya yanhg "mengaku jujur". Mereka sering sebagai "subjek" kehidupan moderen. Mereka cenderung mendayagunakan segalanya - yang putih dan yang hitam - untuk menggapai tujuan-tujuan. Mereka bangga akan "prestasi" seperti ini; prestise. Kalau perilaku bobrok mereka terkuak - sengaja atau tidak - barulah mereka kelabakan dan centang-perenang lalu kasak-kusuk menutupi bahkan mencari kambing hitam (bukan kambing yang bulunya berwarna hitam, Red).

Orang jujur adalah orang yang damai dan mendamaikan; orang yang ikhlas dalam ketaksempurnaan sebagai manusia biasa. Orang yang menang meskipun kelihatan pecundang. Orang yang berjiwa tangguh meskipun kelihatan "rapuh". Orang yang memulihkan jiwa meskipun sering terpapar derita. Orang yang mampu merasakan kenikmatan keajaiban dalam tindakan rencananya. Orang yang mampu "bermain mulus" dan melalui "perangkap kontradiksi" yang menjatuhkan dengan anggun dan sabar.

Meski demikian, kejujuran juga sering memakan "korban"; setidaknya hubungan kekerabatan atau pertemanan yang bisa hilang di balik awan, terbawa bersama indahnya kenangan. Mungkin itu juga yang membuat sebagian orang berpaling dari kejujuran; tidak bersedia mengalami kehilangan. Atau setidaknya, mereka ragu - meragukan janji Yang Maha Satu. Dilema besar meski harus dilalui dengan sabar dan tegar....

"Hanya orang jujur yang bisa menikmati indahnya dan damainya dunia dan jiwa...."





Arif Budiman, S.S.
Bukittinggi - 27 September 2011